RASULULLAH bersabda “Ada satu hal yang sangat Aku gundah, akan
menimpa atas kalian selain dajjal, melebihi jahilnya dajjal, yaitu pemimpin yang sesat lagi menyesatkan”. Inilah Nubuat Rasulullah yang terjawab melalui kasus hukum di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dimana Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi
terbukti terlibat dan keberpihakan dalam sengketa Pemilihan Presiden RI yang dipengaruhi oleh benturan kepentingan.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyampaikan kesimpulan bahwa Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terkait
etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Anwar Usman selaku Hakim terlapor tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan nomor 90/PUU-XXI/2023, terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, penerapan dan prinsip integritas.
2. Hakim terlapor sebagai Ketua MK terbukti tidak menjalankan fungsi kepemimpinan secara optimal sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip kecakapan dan kesetaraan.
3. Hakim terlapor terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama prinsip independensi.
4. Ceramah hakim terlapor mengenai kepemimpinan usia muda di Universitas Islam Sultan Agung Semarang, berkaitan erat dengan perkara menyangkut syarat usia capres cawapres sehingga terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan.
5. Hakim terlapor dan seluruh hakim konstitusi terbukti tidak menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup, sehingga melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan.
Kesimpulan MKMK atas pelanggaran berat yang dilakukan Anwar Usman atas prinsip-prinsip etika hakim Mahkamah Konstitusi, menjadi menarik ketika ditemukan bukti-bukti adanya intervensi pihak luar dalam proses pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023. Siapa sesungguhnya pihak luar yang dimaksud, tentunya adalah pihak yang memiliki kekuatan besar dalam kekuasaan negara dan berkepentingan dalam Pilpres 2024. Oleh karenanya akan menjadi naïf, jika penegakan hukum atas pelanggaran berat yang melibatkan Anwar Usman selaku Ketua MK, berhenti pada penjatuhan sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Terkait adanya bukti-bukti intervensi pihak luar terhadap pengambilan keputusan di MK yang dipandang sebagai ancaman factual dan kejahatan berencana terhadap konstitusi, maka inilah saatnya Negara dituntut untuk melaksanakan kewajibannya, sebagaimana Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Artinya bahwa Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan menjadikan hukum sebagia panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara konstitusi, negara wajib menegakkan hukum untuk kesejahteraan masyarakat. Negara bertanggungjawab atas terselenggaranya penega kkan hukum yang ideal yang meme nuhi rasa keadilan di tengah -tengah masyarakat.”
Pihak-pihak atau siapapun otak dari praktek intervensi terhadap pengambilan keputusan di MK yang patut diduga telah mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kewibawaan konstitusi, harus dibongkar sampai keakar-akarnya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum, karena tindakan tersebut adalah kejahatan berencana yang sesat lagi menyesatkan melebihi jahilnya dajjal.(*)
Sri Radjasa MBA.