Kasus Impor LNG di KPK, Tak Hanya Nicke dan Dwi Sucipto, Kementerian BUMN Ikut Bertanggung Jawab?

oleh

MEDAN – Pernyataan keras mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan ketika akan ditahan KPK pada Selasa (19/9/2023), menyisakan tanda tanda tanya besar. Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) berhasil memperoleh keterangan dari sumber sahih terkait pembelian LNG dari Amerika Serikat yang sedang diusut KPK. 

Di antara keterangan penting itu antara lain terendus hilangnya potensi keuntungan Pertamina dari rencana penjualan LNG ke BP dan Trafigura pada Oktober 2018. Kala itu, penawaran Trafigura terbatas, hanya tiga hari. Namun sayang, Pertamina gagal mengambil momentum itu. Jika saja Direksi Pertamina tahun 2018 mengambil opsi tersebut, kasus LNG Corpus Christi dari Amerika Serikat tersebut seharusnya tidak berujung ke kasus hukum, bahkan Pertamina untung. 

Pertanyaannya adalah, sekelas BUMN nomor wahid Indonesia, masuk rating Fortune 500, mengapa bisa gagal mengambil aksi korporasi penting seperti itu? Ini yang diherankan oleh Karen. Apakah ini masalah kompetensi jajaran Direksi Pertamina? ataukah ada aksi pembiaran? Orang-orang yang duduk di kursi jajaran Direksi Pertamina tentunya bukan orang sembarang pilih dan mempunyai kompetensi bisnis bahkan mempunyai kapasitas dan mampu membaca geopolitik, seharusnya. 

Jika masalahnya adalah kompetensi, artinya kementerian BUMN ikut bertanggung jawab dan tanggung renteng karena telah gagal menetapkan anggota Direksi yang memiliki kompetensi dan kapasitas  dalam memitigasi persoalan-persoalan kompleks bahkan membalikan kerugian menjadi laba.

Diketahui pula, bahwa ternyata  Pertamina mempunyai Komite LNG yang dibentuk melalui keputusan Direksi saat Plt. Dirut Pertamina dijabat Nicke Widyawati sejak 20 April 2018.  Terlepas dari masalah kemampuan Direksi saat itu, hal ini mengindikasikan bahwa Direksi Pertamina faham mengenai besarnya dan kritisnya isu LNG tersebut sehingga sampai perlu dibentuk Komite khusus yang menangani LNG. Lalu bagaimana dengan efektififitas kerja Komite LNG? Dan apakah Direksi Pertamina sempat melaporkan mengenai potensi besar isu LNG ini ke Komisaris dan BUMN? Jika tidak, maka Direksi dapat dikatakan telah lalai.

Dari ucapan Karen pada media di KPK saat itu terkesan adanya pembiaran dari Direksi Pertamina saat itu terhadap isu kontrak LNG Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika. Apakah hal ini akan menimbulkan kasus hukum baru? 

Menurut keterangan Karen dan sumber Pertamina lain yang menghandel bisnis LNG, bahwa posisi keuntungan yang dinikmati Pertamina saat ini sudah mencapai sekitar Rp 1,24 triliun dan prognosa 2025 sekitar Rp 1,6 triliun. Soal mana yang benar antara klaim KPK Rp 2,1 triliun dengan keterangan Karen dan Pertamina, biarlah  nanti dalam proses pengadilan akan terungkap secara terang benderang.

Akan tetapi soal kompetensi anggota direksi harusnya jadi pembelajaran penting bagi kementerian BUMN dalam menempatkan anggota direksi di BUMN-BUMN strategis. Apakah BUMN telah menerapkan sistem yang transparan dalam melakukan Fit & Proper Test? Juga, apakah track-record dari para calon benar-benar menjadi petimbangan penting? Bicara track-record, di perusahaan-perusahaan dengan sistem managemen yang baik akan sangat sensitif terhadap calon-calon yang terafiliasi kepada organisasi-organisasi non-bisnis dan terhadap calon-calon yang mempunyai kontribusi  terhadap kerugian dan kebangkrutan perusahaan dimana calon tersebut menjabat sebelumnya.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, Minggu (24/9/2023) di Medan. 

“Kami memperoleh keterangan dari sumber yang sahih juga, LNG yang telah dibeli dari Amerika Serikat itu ternyata awalnya untuk kebutuhan kilang-kilang pengolahan dan PLN yang cilakanya, tidak kunjung selesai dan gagal dibangun pada saat kargo LNG itu sudah akan dikirim penjual dan diterima Pertamina,” beber Yusri. 

Gagal Raih Untung

Secara detail, Yusri membeberkan proses penjualan LNG Pertamina tersebut. “Pada awal Oktober 2018 Pertamina telah melakukan proses tender “direct selection”  untuk menjual 0.38 juta MTPA  atau 6 cargo per tahun selama kurun waktu tiga tahun dari tahun 2020 hingga 2022,” ungkap Yusri.

Undangan proses tender ini, lanjut Yusri, dikirim ke 11 trader LNG besar di dunia. Dari sebelas yang diundang, lima trader memberikan penawaran termasuk tawaran harga LNG, yaitu Diamond Gas Internasional, Mitsui Jepang, BP Singapore, Trafigura dan RWE Supply & Trading.

“BP Singapore memberikan harga tertinggi namun hanya sanggup beli satu tahun saja. Selanjutnya negosiasi dilanjutkan dengan Trafigura sebagai pemenang kedua, dengan “validity offer” hanya tiga hari, yaitu 8 Oktober 2018 pukul 16.00 WIB,” kata Yusri.

Dikatakan Yusri, Trafigura juga dinyatakan lolos “due dilligence” sebab tidak sedang berada dalam blacklist di Pertamina dan SKK Migas. Harga Trafigura 115 persen HH (Henry Hub) plus USD 4,11 per MMBTU, ini artinya bahwa nilai kontrak Trafigura itu adalah sekitar USD 432 juta dengan asumsi 115 persen HH adalah USD 2,9 per MMBTU.

“Dari harga tersebut, keuntungan Pertamina dari cargo Corpus Christi Lifiquafaction (CLL) ini ditaksir akan senilai USD 61 cents per MMBTU alias USD 37,6 juta. Namun demikian, keuntungan Pertamina yang sudah di depan mata ini menguap, karena Pertamina lambat untuk menyelesaikan negosiasi tahap berikutnya, yaitu tahap finalisasi MSPA (Master of Sales and Purchase Agreement) dan CN (Confirmation Notes) dengan target penyelesaian bulan November 2018,” beber Yusri.

Pada tanggal 15 November 2018 menurut dokumen yang kami miliki, ungkap Yusri lagi, Direktur Pemasaran Korporat PT Pertamina (Persero), Basuki Trikora barulah meminta bantuan Chief Legal Counsel & Compliance (CLCC) PT Pertamina (Persero) untuk menyiapkan jasa konsultan hukum internasional untuk membantu Pertamina dalam negosiasi dengan Trafigura.

“Selanjutnya CLCC melakukan proses seleksi pemilihan jasa konsultan hukum. Baru pada tanggal 10 Desember 2018, proses pemilihan jasa konsultan hukum itu selesai dan dilaporkan kepada CLCC,” ungkap Yusri.

Akibat proses pemilihan jasa konsultan hukum yang berbelit-belit ini, kata Yusri, negosiasi MSPA dan CN menjadi terbengkalai. Target penyelesaian MSPA dan CN yang harus selesai bulan November akhirnya terlewati. Pertanyaan-nya, mengapa Direksi Pertamina tidak melakukan intervensi? Direksi seharusnya faham magnitude kasus ini jika gagal.  

“Trafigura enggan memperpanjang proses negosiasi dan memilih membatalkan rencana pembelian kargo-kargo Corpus Christi ini, jadi runyam deh” beber Yusri.

Siapa Bertanggungjawab?

Mengetahui rentetan tahapan negosiasi Pertamina dan Trafigura tersebut, Yusri mengungkapkan, menjadi pertanyaan besar Ketika proses dan pemenang sudah diketahui sejak 8 Oktober 2018, namun mengapa surat permintaan pendampingan legal baru dibuat pada tanggal 15 November 2018 ?. Padahal deadline transaksi adalah bulan November juga?

“hal itu menunjukan sistem Pertamina ternyata lambat dan kompleks, ini jadi tanggungjawab siapa ?. Dalam situasi seperti ini, Direksi Pertamina bisa mengambil opsi “emergency Call” sehingga untuk kepentingan perusahaan dan untuk menghindari perusahaan dari kerugian yang lebih besar maka Direksi harus mengambil lengkah ini agar proses bisa dipercepat,” kata Yusri.

Menurut Yusri, hal itu lah yang tidak dilakukan oleh Direksi Pertamina saat itu “Hal itu juga lah yang diucapkan Karen dengan kesalnya ketika akan ditahan KPK,” tukas Yusri. 

Menurut Yusri, pasti di rapat-rapat Board of Director (BOD) PT Pertamina (Persero) pernah dibahas tentang potensi masalah LNG Corpus Christi, karena ada beberapa triger.

“Di antaranya PLN mencari pasokan gas sendiri dan  proyek-proyek kilang pengolahan mundur bahkan tidak terlaksana. Padahal salah satu alasan pembelian dari Corpus Christi adalah untuk proyek tersebut dan ancaman defisit gas di tahun 2019,” kata Yusri.

Selain itu, lanjut Yusri, tahun 2019 adalah tahun “first delivery” LNG CC. “Ini pasti dibahas tentang bagaimana menghandel akan datangnya LNG di tahun 2019 dan seterusnya padahal proyek-proyek kilang-kilang delay atau ada yang tidak jalan. Bagaimana nuansa di rapat-rapat BOD saat itu harus diselidiki oleh KPK ?,” kata Yusri.

Atau, kata Yusri, apakah jangan-jangan pembentukan komite itu hanya untuk mengerucutkan permasalahan sehingga hanya menjadi tanggungjawab Komite LNG ?.

“Yang jelas, informasi yang kami terima, komite ini dibentuk berdasarkan hasil rapat Direksi, namun perlu dipertanyakan juga bagaimana mekanisme kerja komite,” ungkap Yusri.

Yusri mengatakan, menurut infonya saat tahun 2018. adapun anggota Komite LNG Pertamina adalah : 

Dirut: Nicke Widyawati

Direktur Keuangan : Pahala Mansyuri,

Direktur PIMR: Heru Setiawan, 

Direktur  Pemasaran: Mas’ud Khamid,

Direktur Pemasaran Korporat, Basuki Trikora Putra dan

Dirut PT PGN: Gigih Prakoso.

“Tupoksi komite LNG adalah mengelola LNG Pertamina dengan membaca gerak nilai pasar LNG dunia terkait situasi geopolitik, kemudian merekomendasikan pengambilan keputusan penting dan cepat tentang bisnis LNG kepada Dirut, baik soal pengadaan/ pembelian atapun penjualan LNG Pertamina” ungkap Yusri.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.